Alḥamdulillāh wa aṣ-ṣalātu wa as-salāmu ‘alā Rasūlillah wa ‘ala ālihi wa ṣaḥbihi wa man wālāh, ‘amma ba’du.
Diantara permasalahan yang sering muncul menjadi diskusi di tengah-tengah kaum muslimin adalah tentang makna takdir (kehendak Allah) dan kaitannya dengan konsep kebebasan memilih (free will) bagi manusia. Muncul sebuah pertanyaan, apakah sejatinya manusia itu diberi kebebasan dalam memilih perbuatannya? atau justru sejatinya takdir telah memenjara manusia dari kebebasan memilih tersebut?. Kalaulah manusia hidup dalam keadaan dipaksa oleh takdir, lantas kenapa manusia dibebankan taklif (kewajiban)?. Dan kalaulah manusia itu diberikan kebebasan memilih, mengapa dalam banyak hal manusia tidak bisa memilih pilihannya sendiri?. Masalah Al-Jabr (determinisme) dan ikhtiar (free will) telah banyak menyita pemikiran banyak orang. Diskusi tentang hal ini kerap muncul ke permukaan dan menimbulkan kebingungan terhadap orang-orang awam.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita akan menelusuri akar pemikiran tiga aliran teologi islam dalam menyikapi masalah ini. Pertama aliran Qodariyah berpendapat, bahwa manusia itu punya kuasa dan kebebasan memilih (bil qadri wal ikhtiyar/free will dan free choice). Manusia memiliki kuasa dan menciptakan perbuatannya sendiri yang tidak ada hubungannya dengan penciptaan Allah. Dengan kata lain, manusia punya kekuasaan dan kemampuan dalam dirinya sebelum berbuat sesuatu. Mereka berdalil, kalaulah mengatakan bahwasanya Allah menciptakan perbuatan manusia, kemudian Allah kelak menghukum manusia karena ada perbuatannya yang salah atau berdosa. Maka Allah telah zalim terhadap hambanya. Dan itu adalah suatu hal yang mustahil. Aliran kedua Jabariyyah berpendapat, manusia itu terpaksa (mujbar) dalam melakukan suatu perbuatan. Manusia sama sekali tidak punya kuasa dan keinginan. Seakan mereka mengatakan bahwasanya “manusia itu pada dasarnya tidak menciptakan perbuatannya sendiri dan dia bergerak seperti bulu yang tertiup angin”. Pandangan ini cenderung pada determinisme (jabr). Mereka berdalil dengan surat Al-Anfal ayat ke 17 :”(Dan bukan kamu (Muhammad) yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar)”. Dalam ayat tersebut Allah Swt. menafikan pekerjaan melempar dari Nabi dan menetapkan lemparan itu dari-Nya. Dan aliran ketiga Ahlu Sunnah berpendapat menjadi penengah antara kelompok Jabariyah dan Qadariyah. Menurut mereka, Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia. Sebab, manusia dan perbuatannya adalah makhluk Allah. Namun, manusia mempunyai kemampuan yang dianugerahkan Allah beriringan dengan perbuatannya, bukan mendahului atau menyudahinya. Jadi, menurut mereka, manusia diminta mencari (muktasab) perbuatannya. Dan, Allah yang menciptakan kasab (perolehan)-nya itu.
Salah seorang cendikiawan muslim Ibnu Rusyd mengungkapkan, bahwa pemicu akan perbedaan pendapat yang terjadi dalam persoalan takdir (qada dan qadar) ini disebabkan pemahaman kontradiksi akan dalil-dalil dan argumentasi akal.
Jika dikatakan kehendak Allah meliputi segala sesuatu, apakah juga Dia menghendaki kejahatan?. Jika dikatakan kehendak-Nya hanya menyangkut yang baik-baik saja, berati ada perbuatan yang terjadi di luar kehendak dan pilihan-Nya. Jika demikian, bagaimana mungkin kehendak Allah disebut meliputi segala sesuatu? Apakah kuasa-Nya masih akan disebut mutlak?. Di sisi lain, jika dikatakan manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri, berarti telah terjadi pembatasan atas kekuasaan Allah. Artinya, kuasa Allah tidak meliputi segala sesuatu. Pun berarti, bahwa manusia menjadi sekutu Allah dalam mengadakan perbuatan manusia ini. Padahal menurut akal, satu hal tidaklah dilakukan oleh dua kekuasaan. Jika memang kuasa Allah yang menciptakan perbuatan manusia, berarti manusia tidak punya peran apa-apa. Sebaliknya, jika memang kuasa manusia yang menciptakan perbuatannya, berarti kuasa Allah tidak berperan apa-apa. Tidaklah mungkin sebagian dari suatu perbuatan terjadi atas kuasa Allah, dan sebagian yang lain terjadi atas kuasa manusia, satu tidaklah terbagi-bagi.
Cara berpikir ini lahir dari pemahaman akan ayat-ayat Al-Quran yang menginformasikan determinisme manusia, disaat ayat yang lain menginformasikan mereka punya ikhtiar (kebebasan inisiatif). Seperti firman Allah Swt. :
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Insan : 30)
Di ayat yang lain Allah Swt. berfirman :
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. Al-Mudatsir : 38)
Tiap golongan yang berselisih dalam massalah jabr dan ikhtiar ini berpegang pada nash yang sesuai dengan mazhabnya. Selanjutnya, mencoba menginterpretasikannya secara spesifik sehingga terbentur dengan nash yang lain.
Padahal, tidak ada kontradiksi antar nash yang berbicara tentang jabr dan ikhtiar. Semua mengungkapkan tentang satu dari sekian sisi hubungan manusia dengan Tuhan, juga hubungannya dengan perbuatannya. Oleh karena itu, manusia itu mujbar (terpaksa) di satu sisi, tetapi punya ikhtiar (free will) di sisi yang lain. Jadi, tidak ada kontradiksi dalam hal ini.
Adapun takdir (ketetapan) Allah Swt. yang menimpa manusia, para ulama membaginya menjadi 2 :
1) Takdir Allah Swt yang datang dari pilihan manusia itu sendiri, ketetapan Allah yang menuntut adanya ikhtiar (pilihan) dan kasb (perolehan). Sebagai contoh ketika manusia menginginkan sesuatu yang diinginkan dalam hidupnya, maka sebagian hal menuntut untuk adanya ikhtiar (memilih) dan berusaha. Banyak orang meraih keberhasilan seperti materi, pendidikan, pekerjaan dan lain sebagainya dalam hidup disebabkan karena bergerak dan berusaha. Walaupun tetap bagi orang beriman kita harus meyakini bahwa ketetapan itu mutlak dalam kehendak Allah Swt. dan tidak menuhankan ikhtiar. Dalam istilah lain takdir ini biasa disebut takdir muallaq.
2) Takdir Allah Swt. yang mutlak ketetapan Allah Swt. tidak ada ikhtiar manusia didalamnya. Seperti contoh bagaimana Allah menciptakan kita, manusia tidak ada kehendak ikut campur dalam proses penciptaan dirinya. Dan bagaimana Allah mengatur organ dalam tubuh manusia, bagaimana proses yang ada di dalam tubuh manusia? Tidak ada ikhtiar bagi manusia dalam mengatur dan menentukan itu semua. Takdir ini biasa disebut dengan takdir mubram.
Seperti itulah dinamika pergulatan pemikiran dalam sejarah islam tentang konsep takdir dan kaitannya dengan af’alul ibad (pekerjaan manusia) dan free will (kebebasan kehendak) bagi manusia. Hal ini perlu seorang muslim pahami dengan baik, karena akan sangat berkaitan dengan cara berpikir, bersikap dan kehidupannya yang sangat berpengaruh bagi individu ataupun kelompok. Para cendikiawan muslim mengemukakan bahwa salah satu penyebab terjadinya kemunduran umat islam di abad 18-19 adalah menyebarnya paham fatalisme yang menjangkit umat islam. Fatalisme adalah paham yang mirip dengan Jabbariyah yang mengungkapkan bahwa sejatinya manusia hidup dalam paksaan takdir. Manusia dikuasai oleh nasib, yang menjadikan seorang muslim tidak berupaya, berikhtiar dengan sungguh-sungguh mencapai cita-cita keinginan dalam hidupnya. Allahu’alam bis shawab.